Sejak beberapa dekade terakhir ini, kata lemak selalu
dikaitkan dengan penyakit. Mendengar kata lemak saja,
sudah melambungkan imaji pada sesuatu yang tidak
sehat. Lemak selalu dikaitkan dengan kadar kolesterol
tinggi, penyakit jantung atau tekanan darah tinggi.
Tapi benarkan semua itu ?. Para pakar ilmu pangan
selalu mengkaitkan lemak, khususnya lemak hewani
dengan risiko serangan infark jantung. Akan tetapi
sejauh ini belum ada bukti ilmiah menyangkut dampak
negatif lemak. Kebanyakan publikasi berisi tuduhan,
tapi bukan bukti. Bahkan penelitian menunjukan, kaitan
antara berbagai kasus penyakit dengan konsumsi lemak,
ternyata kebalikan dari tuduhan.
Mitos menyesatkan menyangkut lemak, dimulai dengan
propaganda di tahun 50-an. Ketika itu di Amerika
Serikat mulai dilancarkan perang melawan lemak. Tokoh
penggagasnya adalah Ancel Keys, ahli kedokteran dari
Universitas Minnesota. Ia menyebutkan, mengamati
sejumlah kasus di infark jantung berbagai negara. Keys
menarik kesimpulan, di negara yang konsumsi lemak
hewaninya rendah, angka serangan infark jantungnya
juga amat rendah. Mulai saat itulah Keys
mengkampanyekan gerakan hidup sehat, dengan mengurangi
makan lemak hewani.
Akan tetapi Keys juga harus mengakui, tidak terdapat
bukti kuat menyangkut dampak makanan terhadap risiko
serangan jantung. Sampai akhir tahun 60-an, bukti
ilmiah mengenai dampak makanan, khususnya lemak hewani
pada risiko penyakit tetap tidak ditemukan. Tahun 1969
komisi ahli dari institut kesehatan jantung nasional
Amerika Serikat-NHI mengumumkan, tidak mengetahui
apakah perubahan pola makan berdampak langsung pada
risiko penyakit jantung dan metabolisme. Bahkan Edward
Ahrens, ilmuwan perintis penelitian kadar kolesterol
dari Universitas New York mengatakan hal yang
kontroversial. Disebutkannya, kekurangan lemak boleh
jadi lebih merusak kesehatan dibanding kelebihan
lemak.
Akan tetapi berbagai penelitian ilmiah saat itu,
dinihilkan begitu saja oleh politik. George Mc Govern,
kandidat presiden dari partai Demokrat, yang juga
senator dari negara bagian South Dakota, pada tahun
1968 mengangkat tema lemak ini dalam kampanye-nya. Ia
mengatakan, baru saja melakukan diet anti lemak yang
ketat. Mc Govern mengobarkan kampanye bertema program
makanan sehat tanpa lemak. Ia juga menugasi Nick
Mottern, seorang wartawan kawakan untuk menuliskan
haluan kampanye anti lemak tsb. Mottern pada saat itu
juga sudah mengubah gaya makannya menjadi seorang
vegetarian.
Dari sinilah mulai bergaungnya mitos keliru mengenai
lemak. Pengaruh media massa jauh lebih besar dibanding
publikasi hasil penelitian ilmiah yang sulit dicerna
awam. Pada tahun 70-an gelombang aksi makanan anti
lemak menyebar ke seluruh dunia, terutama ke Eropa.
Rumusan komposisi bahan pangan yang dicanangkan, hanya
30 persen kalori berasal dari lemak, dan maksimal 10
persennya lemak hewani. Akan tetapi berbagai
penelitian menyangkut dampak negatif lemak hewani pada
kesehatan manusia, tetap tidak berhasil membuktikan
kaitan langsungnya. Bahkan kelompok kerja di institur
kesehatan nasional Amerika Setikat-NIH, setelah
menelitinya selama 11 tahun akhirnya menyerah.
Diumumkan, sejauh itu tidak terdapat bukti meyakinkan,
menyangkut korelasi konsumsi lemak dengan gangguan
kesehatan.
Sampai tahun 2000 yang lalu, mitos makanan miskin
lemak sebagai makanan sehat masih bergaung di seluruh
dunia. Akan tetapi banyak sekali bukti yang menentang
dogma itu yang tetap disembunyikan. Misalnya saja di
Amerika Serikat, yang merupakan cikal bakal gerakan
anti lemak, terbukti jumlah warga yang dirawat di
rumah sakit akibat gangguan jantung dan metabolisme
terus meningkat. Memang jumlah kematian akibat infark
jantung menurun, namun hal itu lebih disebabkan
perawatan medis yang lebih baik, bukan karena makanan
miskin lemak.
Data menunjukan, dalam waktu tigapuluh tahun konsumsi
lemak rata-rata warga Amerika Setikat sudah turun
sekitar 6 persennya. Namun penurunan ini, tidak
diikuti penurunan signifikan kasus penyumbatan
pembuluh darah atau penyakit jantung. Bahkan terlihat
paradox dari prestasi penurunan konsumsi lemak. Dalam
dekade terakhir ini, jumlah warga AS yang kelebihan
berat badan malahan meningkat 8 persen, menjadi
keseluruhannya 22 persen populasi. Dampaknya kasus
diabetes akibat kelebihan berat badan, juga meningkat
tajam. Diduga hal itu disebabkan perubahan pola makan,
dari lemak ke karbohidrat. Juga banyak yang meyakini,
dengan mengurangi makan lemak, mereka boleh makan
bahan pangan lain tanpa batas.
Penelitian selanjutnya menyangkut dampak negatif lemak
terhadap kesehatan, malahan mengukuhkan bukti
sebaliknya. Sebanyak 117.000 perawat di Amerika
Serikat yang sebelumnya secara sukarela mengisi angket
mengenai kebiasaan makan, diteliti kesehatannya selama
beberapa tahun. Hasilnya amat mencengangkan. Mereka
yang mengikuti trend mengurangi makan lemak, secara
rata-rata tidak lebih baik status kesehatannya dari
mereka yang makan sembarangan. Bahkan di kalangan
wanita, setelah 12 tahun tidak ada korelasi apapun
antara kebiasaan makan dengan risiko penyakit kronis.
Bahkan ada kecenderungan, mereka yang kekurangan lemak
menurun kelenturan dan ketahanan pembuluh darahnya.
Kini semakin banyak peneliti ilmiah yang justru
menekankan bahwa lemak itu sehat dan penting untuk
fungsi kehidupan. Lemak adalah bagian terpenting dalam
membran sel. Otak misalnya, sekitar 70 persennya
terdiri dari lemak. Kekurangan lemak dalam bahan
pangan, justru akan menurunkan fungsi otak. Banyak
responden di kalangan perawat, yang menyatakan
mengurangi makan lemak, bahkan meningkat risikonya
terkena serangan stroke. Berbagai penelitian terbaru,
memang belum mematahkan mitos keliru, lemak itu
berbahaya bagi kesehatan. Namun saran pakar makanan
nampaknya layak disimak, yakni makanlah secara
seimbang antara lemak, karbohidrat dan buah-buahan.
dikaitkan dengan penyakit. Mendengar kata lemak saja,
sudah melambungkan imaji pada sesuatu yang tidak
sehat. Lemak selalu dikaitkan dengan kadar kolesterol
tinggi, penyakit jantung atau tekanan darah tinggi.
Tapi benarkan semua itu ?. Para pakar ilmu pangan
selalu mengkaitkan lemak, khususnya lemak hewani
dengan risiko serangan infark jantung. Akan tetapi
sejauh ini belum ada bukti ilmiah menyangkut dampak
negatif lemak. Kebanyakan publikasi berisi tuduhan,
tapi bukan bukti. Bahkan penelitian menunjukan, kaitan
antara berbagai kasus penyakit dengan konsumsi lemak,
ternyata kebalikan dari tuduhan.
Mitos menyesatkan menyangkut lemak, dimulai dengan
propaganda di tahun 50-an. Ketika itu di Amerika
Serikat mulai dilancarkan perang melawan lemak. Tokoh
penggagasnya adalah Ancel Keys, ahli kedokteran dari
Universitas Minnesota. Ia menyebutkan, mengamati
sejumlah kasus di infark jantung berbagai negara. Keys
menarik kesimpulan, di negara yang konsumsi lemak
hewaninya rendah, angka serangan infark jantungnya
juga amat rendah. Mulai saat itulah Keys
mengkampanyekan gerakan hidup sehat, dengan mengurangi
makan lemak hewani.
Akan tetapi Keys juga harus mengakui, tidak terdapat
bukti kuat menyangkut dampak makanan terhadap risiko
serangan jantung. Sampai akhir tahun 60-an, bukti
ilmiah mengenai dampak makanan, khususnya lemak hewani
pada risiko penyakit tetap tidak ditemukan. Tahun 1969
komisi ahli dari institut kesehatan jantung nasional
Amerika Serikat-NHI mengumumkan, tidak mengetahui
apakah perubahan pola makan berdampak langsung pada
risiko penyakit jantung dan metabolisme. Bahkan Edward
Ahrens, ilmuwan perintis penelitian kadar kolesterol
dari Universitas New York mengatakan hal yang
kontroversial. Disebutkannya, kekurangan lemak boleh
jadi lebih merusak kesehatan dibanding kelebihan
lemak.
Akan tetapi berbagai penelitian ilmiah saat itu,
dinihilkan begitu saja oleh politik. George Mc Govern,
kandidat presiden dari partai Demokrat, yang juga
senator dari negara bagian South Dakota, pada tahun
1968 mengangkat tema lemak ini dalam kampanye-nya. Ia
mengatakan, baru saja melakukan diet anti lemak yang
ketat. Mc Govern mengobarkan kampanye bertema program
makanan sehat tanpa lemak. Ia juga menugasi Nick
Mottern, seorang wartawan kawakan untuk menuliskan
haluan kampanye anti lemak tsb. Mottern pada saat itu
juga sudah mengubah gaya makannya menjadi seorang
vegetarian.
Dari sinilah mulai bergaungnya mitos keliru mengenai
lemak. Pengaruh media massa jauh lebih besar dibanding
publikasi hasil penelitian ilmiah yang sulit dicerna
awam. Pada tahun 70-an gelombang aksi makanan anti
lemak menyebar ke seluruh dunia, terutama ke Eropa.
Rumusan komposisi bahan pangan yang dicanangkan, hanya
30 persen kalori berasal dari lemak, dan maksimal 10
persennya lemak hewani. Akan tetapi berbagai
penelitian menyangkut dampak negatif lemak hewani pada
kesehatan manusia, tetap tidak berhasil membuktikan
kaitan langsungnya. Bahkan kelompok kerja di institur
kesehatan nasional Amerika Setikat-NIH, setelah
menelitinya selama 11 tahun akhirnya menyerah.
Diumumkan, sejauh itu tidak terdapat bukti meyakinkan,
menyangkut korelasi konsumsi lemak dengan gangguan
kesehatan.
Sampai tahun 2000 yang lalu, mitos makanan miskin
lemak sebagai makanan sehat masih bergaung di seluruh
dunia. Akan tetapi banyak sekali bukti yang menentang
dogma itu yang tetap disembunyikan. Misalnya saja di
Amerika Serikat, yang merupakan cikal bakal gerakan
anti lemak, terbukti jumlah warga yang dirawat di
rumah sakit akibat gangguan jantung dan metabolisme
terus meningkat. Memang jumlah kematian akibat infark
jantung menurun, namun hal itu lebih disebabkan
perawatan medis yang lebih baik, bukan karena makanan
miskin lemak.
Data menunjukan, dalam waktu tigapuluh tahun konsumsi
lemak rata-rata warga Amerika Setikat sudah turun
sekitar 6 persennya. Namun penurunan ini, tidak
diikuti penurunan signifikan kasus penyumbatan
pembuluh darah atau penyakit jantung. Bahkan terlihat
paradox dari prestasi penurunan konsumsi lemak. Dalam
dekade terakhir ini, jumlah warga AS yang kelebihan
berat badan malahan meningkat 8 persen, menjadi
keseluruhannya 22 persen populasi. Dampaknya kasus
diabetes akibat kelebihan berat badan, juga meningkat
tajam. Diduga hal itu disebabkan perubahan pola makan,
dari lemak ke karbohidrat. Juga banyak yang meyakini,
dengan mengurangi makan lemak, mereka boleh makan
bahan pangan lain tanpa batas.
Penelitian selanjutnya menyangkut dampak negatif lemak
terhadap kesehatan, malahan mengukuhkan bukti
sebaliknya. Sebanyak 117.000 perawat di Amerika
Serikat yang sebelumnya secara sukarela mengisi angket
mengenai kebiasaan makan, diteliti kesehatannya selama
beberapa tahun. Hasilnya amat mencengangkan. Mereka
yang mengikuti trend mengurangi makan lemak, secara
rata-rata tidak lebih baik status kesehatannya dari
mereka yang makan sembarangan. Bahkan di kalangan
wanita, setelah 12 tahun tidak ada korelasi apapun
antara kebiasaan makan dengan risiko penyakit kronis.
Bahkan ada kecenderungan, mereka yang kekurangan lemak
menurun kelenturan dan ketahanan pembuluh darahnya.
Kini semakin banyak peneliti ilmiah yang justru
menekankan bahwa lemak itu sehat dan penting untuk
fungsi kehidupan. Lemak adalah bagian terpenting dalam
membran sel. Otak misalnya, sekitar 70 persennya
terdiri dari lemak. Kekurangan lemak dalam bahan
pangan, justru akan menurunkan fungsi otak. Banyak
responden di kalangan perawat, yang menyatakan
mengurangi makan lemak, bahkan meningkat risikonya
terkena serangan stroke. Berbagai penelitian terbaru,
memang belum mematahkan mitos keliru, lemak itu
berbahaya bagi kesehatan. Namun saran pakar makanan
nampaknya layak disimak, yakni makanlah secara
seimbang antara lemak, karbohidrat dan buah-buahan.
Artikel Terkait: